Sabtu, 30 Agustus 2014

KHUTBAH JUM'AT 2014



KHUTBAH JUM’AT
Oleh : Muh. Munir Fauzi, S.Pd

اَلْحَمْدُِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ  وَنَعُوْذُبِااللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا                      وِمِنْ سَيِّئَاتِ   أَعْمَالِنَا. مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
اَشْهَدُ اَنْ لآَاِلهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
   اَللّهُمَّ صَلِّى عَلىَ مُحَمَّد  وَعَلَى آلِهِ وَصَحـْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ
 إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ  وَلاَتَمُوْتُونَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ (3:102)
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا 4:1                                                                     

Ikhwatal Iman rahimakumullah... jamaah shalat jum’at yang berbahagia.
Selanjutnya, izinkanlah khatib mengingatkan kita semua termasuk diri khotib sendiri untuk senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.  Karena tidak ada bekal terbaik yang dapat menyelamatkan kita dalam kehidupan di dunia dan akhirat kelak kecuali taqwa.  
Tidak ada pula derajat kemuliaan yang pantas disematkan kepada seseorang kecuali derajat ketaqwaan... Inna akramakum indallahi atqakum... Dengan taqwa kepada Allah inilah kita berupaya menjalani kehidupan sehari-hari kita.

Khotbah yang ingin saya sampaikan hari ini saya awali dengan dua ayat :
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ. وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ اْلأَلِيْمُ. ,
artinya : “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih” (QS.15 Al Hijr 49-50).

Ada dua pengertian yang paradox bisa kita tangkap dari ayat tersebut, yaitu :
Pertama, siksa dan azab Allah SWT sangat pedih
Kedua, Allah SWT sangat Pengasih dan Penyayang lebih daripada siapa saja yang berhati kasih sayang, dan pasti akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya betapapun besarnya jika ia mau bertaubat.

Dan ini yang paling dominan dalam ayat tersebut, karenanya didahulukan penyebutannya, apalagi kalau dilihat dari أَسْبَابُ اْلنُّزُوْلِ , yaitu : “Rasulullah SAW melewati sekelompok sahabatnya yang sedang tertawa ber­sen­da gurau, beliau menegurnya : اَتَضْحَكُوْنَ وَذَكَرَ الْجَنَّةَ وَالنَّارُ بَيْنَ اَيْدِيْكُمْ “Kalian tertawa dan menyebut-nyebut sorga, padahal neraka berada di depan kalian ?”, Kemudian datanglah Jibril dan berkata : Wahai Muhammad sungguh Allah SWT berfirman : “Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa sesungguhnya Aku yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang …”.

Ayat tersebut memberikan optimisme dan harapan kepada kita, bahwasanya tidak ada dosa betapapun besarnya – kecuali syirik – yang tidak akan terampuni jika kita mau bertaubat, apalagi penjelasan dan janji Allah ter­sebut diperkuat oleh hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, seperti, artinya : “Ketika Allah menciptakan makhluk. Ditulisnya sebuah tulisan di atas singgasana-Nya : sungguh rahmat-Ku mendahului kemarahan-Ku. Dalam sebuah riwayat disebutkan : Sungguh rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku”

Sesuai dengan firman Allah
قُلْ لِّمَنْ مَّا فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ قُلْ ِللهِ كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ َ , artinya : “Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang …” (QS.6 Al-An’am 12).

Jadi, salah dan dosa adalah sesuatu yang wajar terjadi, dan itu dengan tegas disampaikan oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam hadits di bawah ini yang artinya : “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya kalian semua tidak ada yang berbuat dosa, niscaya kalian semua akan dibinasakan kemudian akan diciptakan suatu bangsa yang berbuat dosa, tapi, kemudian mohon ampun kepada Allah SWT, dan Allah mengampuni mereka” (HR. Muslim).

Hadits di atas menyadarkan kita, bahwa dosa adalah sesuatu yang wajar terjadi, yang terpenting adalah upaya menyadari kesalahan dan bertaubat.
Rasulullah SAW bukan hanya bisa menyuruh, tapi beliau juga memberi contoh dan melakukannya, sebagaimana hadits ini
يَآأيُهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلىَ اللهِ فَإِنِّي اَتُوْبُ إِلَيْهِ ِفي الْيَوْمِ مِأَتَة مَرَّة ,
artinya : “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, sungguh saya bertaubat kepada-Nya seratus kali setiap harinya”(HR. Muslim). “Karenanya, yakinlah bahwa Allah SWT pasti mengampuni dosa-dosa kita dengan rahmat dan belas kasih-Nya, dan itu modal masuk surga”.

Sampai di sini kita bisa memahami bahwasanya taubat dan harapan adalah semisal pelampung dan timah pemberat. Pelampung agar kita tidak tenggelam kedalam kepesimisan dan keputus-asaan, sementara timah pemberat akan menyelamatkan kita dari kesombongan yang itu adalah bentuk lain dari dosa dan kemaksiatan, dan dengan kesombongan membuat Iblis terlaknat selamanya. Untuk itu Rasulullah SAW mengingatkan kita dalam sebuah sabdanya, yang artinya : “Amal seseorang tidak akan mengantarkannya masuk surga, tidak Anda ya Rasulullah ? Kata sahabat. Beliau menjawab : tidak juga saya, kecuali Allah meliputi dan memenuhiku dengan ampunan dan rahmat” (Muttafaq alaih).

Ya Allah, semoga Engkau ampuni Dosa-dosa kami dan terimalah ibadah kami, kemudian masukkanlah kami ke dalam surga-Mu dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi sangat Penyayang lebih dari siapa saja yang berhati pengasih dan penyayang. Amin


Hubungan Antara Dosa Dan Bencana
Oleh: Muh. Munir Fauzi, S.Pd
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِي اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ؛ أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْمُتَّقُوْنَ، وَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
Ma’assyiral muslimin, rahimakumullah.
Pada kesempatan yang mulia ini, marilah kita meningkatkan kualitas diri kita sehingga mampu menggapai makna takwa yang sesungguhnya, takwa yang berdasar pada lubuk hati kita, takwa yang membuat kita sadar bahwa segala yang kita lakukan hanya akan berarti jika diorientasikan untuk mengabdi kepada Allah, dan takwa yang membuat kita tidak mempunyai tujuan lain dalam kehidupan ini kecuali mencari ridha-Nya.

Dalam khutbah Jum’at kali ini saya akan membahas tentang hubungan antara dosa dan bencana yang menimpa umat manusia sebagaimana yang diterangkan di dalam Al-Qur’an. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam Surat Ar-Ruum ayat 41 yang berbunyi:
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”

Kebanyakan orang memandang berbagai macam musibah yang menimpa manusia hanya dengan logika berpikir yang bersifat rasional, terlepas dari tuntutan Wahyu Ilahi. Misalnya terjadinya becana alam berupa letusan gunung berapi, banjir, gempa bumi, kekeringan, kelaparan dan lain-lain, dianggap sebagai fenomena kejadian alam yang bisa dijelaskan secara rasional sebab-sebabnya. Demikian dengan krisis yang berkepanjangan, yang menimbulkan berbagai macam dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakat tidak merasakan kehidupan aman, tenteram dan sejahtera, hanya dilihat dari sudut pandang logika rasional manusia. Sehingga, solusi-solusi yang diberikan tidak mengarah pada penghilangan sebab-sebab utama yang bersifat transendental yaitu kemaksiatan umat manusia kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Sang Pencipta Jagat Raya, yang ditanganNyalah seluruh kebaikan dan kepadaNya lah dikembalikan segala urusan.

Bila umat manusia masih terus menerus menentang perintah-perintah Allah, melanggar larangan-laranganNya, maka bencana demi bencana, serta krisis demi krisis akan datang silih berganti sehingga mereka betul-betul bertaubat kepada Allah.

Ikhwani fid-din rahimakumullah.

Marilah kita lihat keadaan di sekitar kita. Berbagai macam praktek kemaksiatan terjadi secara terbuka dan merata di tengah-tengah masyarakat. Perjudian marak dimana-mana, prostitusi demikian juga, narkoba merajalela, pergaulan bebas semakin menjadi-jadi, minuman keras menjadi pemandangan sehari-hari, korupsi dan manipulasi telah menjadi tradisi serta pembunuhan tanpa alasan yang benar telah menjadi berita setiap hari.

Pertanyaannya sekarang, mengapa segala kemungkaran ini bisa merajalela di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini? Jawabannya adalah tidak ditegakkannya kewajiban yang agung dari Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu amar ma’ruf nahi mungkar, secara serius baik oleh individu maupun pemerintah sebagai institusi yang paling bertanggung jawab dan paling mampu untuk memberantas segala macam kemungkaran secara efektif dan efisien. Karena pemerintah memiliki kekuatan dan otoritas untuk melakukan, meskipun kewajiban mengingkari kemungkaran itu merupakan kewajiban setiap individu muslim sebagaimana sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah merubahnya dengan tangannya, bila tidak mampu ubahlah dengan lisannya, bila tidak mampu ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (Hadits shahih riwayat Muslim).

Namun harus diketahui bahwa memberantas kemungkaran yang sudah merajalela tidak hanya dilakukan oleh individu-individu, karena kurang efektif dan kadang-kadang beresiko tinggi. Sehingga kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu bisa dilakukan secara sempurna dan efektif oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Usman bin Affan Radhiallaahu anhu , khalifah umat Islam yang ketiga: “Sesungguhnya Allah mencegah dengan sulthan (kekuasaan) apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur’an”

Disamping itu amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu tugas utama sebuah pemerintahan, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kekuasaan mengatur masyarakat adalah kewajiban agama yang paling besar, karena agama tidak dapat tegak tanpa negara. Dan karena Allah mewajibkan menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, menolong orang-orang teraniaya. Begitu pula kewajiban-kewajiban lain seperti jihad, menegakkan keadilan dan penegakan sanksi-sanksi atau perbuatan pidana. Semua ini tidak akan terpenuhi tanpa adanya kekuatan dan pemerintahan” (As Siyasah Asy Syar’iyah, Ibnu Taimiyah: 171-173).

Apabila kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka sebagai akibatnya Allah akan menimpakan adzab secara merata baik kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran ataupun tidak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, dalam sebuah haditst Hasan riwayat Tarmidzi:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشَكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابَ لَكُمْ.
Artinya: “Demi Allah yang diriku berada di tanganNya! Hendaklah kalian memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar atau Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan”.

Yang dimaksud laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allah Subhannahu wa Ta'ala . Dengan demikian supaya bangsa ini bisa keluar dan terhindar dari berbagai krisis dalam kehidupan di segala bidang dan selamat dari beragam musibah dan bencana, hendaklah seluruh kaum muslimin dan para pemimpin atau penguasa mereka, bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang perbuatan-perbuatan mungkar sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing, mentaati Allah Ta’ala dan menjauhi seluruh larangan-larangan dalam seluruh aspek kehidupan.

Demikianlah khutbah singkat ini kami sampaikan dan marilah kita berdoa kepada Allah SWT...semoga ada manfaatnya untuk kita semua dan mudah-mudahan kita dijadikan sebagai hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Amin3x...

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِالْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِوَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَالْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُإِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

 
Salah satu dimensi kebesaran Nabi Ibrahim ialah besarnya pengorbanan yang ditunjukkan kepada Allah melalui ketulusannya dalam mengorbankan putra kesayangannya. Nabi Isma’il lahir setelah melalui penantian yang cukup panjang dari keluarga ini.Kisah keluarga Nabi Ibrahim sarat akan pesan-pesan moral. Nabi Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja demi mencapai keridhaan Tuhan, rela menyembelih anaknya, bahkan rela mengorbankan diri dalam kobaran api.
Setiap orang mempunyai kelemahan terhadap sesuatu yang dicintainya. Kelemahan Ibrahim terletak pada anak kesayangannya yang sudah lama didambakannya, dan dari sini pula kembali diuji Tuhan berupa godaan setan, tetapi Nabi Ibrahim lulus dari ujian itu. Ia secara tulus dan ikhlas mau mengorbankan putra kesayangannya.Nabi Isma’il adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan sekaligus berpotensi melemahkan dan menggoyahkan iman, simbol bagi sesuatu yang dapat membuat kita enggan menerima tanggung jawab.
Simbol bagi sesuatu yang dapat mengajak kita untuk berpikir subyektif dan berpendirian egois. Tegasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan kita.Mari kita  mengintrospeksi  dan mengukur diri kita masing-masing. Seandainya kita adalah figur “Ibrahim”, sudahkah kita memperoleh iman setangguh  beliau? Sudahkah kita menunjukkan pengorbanan yang optimal ke jalan-jalan yang diridhai Tuhan?
Jika kita misalnya berada di puncak karir, sudah relakah kita mengorbankan segalanya demi mempertahankan prinsip-prinsip ajaran yang dianut?“Nabi Isma’il” simbol bagi sesuatu yang amat kita cintai, sudah barang tentu kita semua memiliki sesuatu yang dicintai. Boleh jadi “Isma’il-Isma’il” kita berbentuk harta kekayaan, semisal kendaraan baru, rumah mewah, jabatan penting, deposito, atau kekayaan lainnya. Apakah kita sudah rela mengorbankannya untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mencapai ridha Tuhan?
Jika kita sebagai suami, sudah sanggupkah kita meniru ketangguhan iman Nabi Ibrahim, mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya, demi mengamalkan perintah Tuhan? Jika kita sebagai istri, sudah sanggupkah kita meniru ketabahan dan ketaatan Hajar, merelakan suaminya menjalankan perintah Tuhan dan menghargai jiwa besar anaknya? Jika kita sebagai anak, sudahkah kita memiliki idealisme yang tangguh setangguh Nabi Isma’il yang rela menjadi korban untuk suatu tujuan mulia?
Kisah-kisah yang ditampilkan Al-Qur’an sangat patut menjadi pembelajaran buat kita semua. Nabi Ibrahim melahirkan anak paling sejati dalam Al-Qur’an (Q.S. 37. al-Shaffat : 102). Ia bukan hanya anak biologis, melainkan sekaligus anak spiritual. Bandingkan dengan putra Nabi Nuh, meskipun ia seorang putra biologis Nabi, tetapi ia menjadi pembangkang dan kufur. Itulah sebabnya ia dicap hanya sebagai anak biologis, tetapi bukan anak spiritual ayahnya (Q.S.11. Hud : 46).
Fir’aun adalah sosok manusia paling angkuh yang tersebut dalam al-Qur’an, tetapi isterinya mendapatkan pujian sebagai isteri salehah yang beriman (Q.S. 66 At-Tahrim : 11). Bandingkan dengan istri paling pengkhianat dalam Al-Qur’an ternyata istri Nabi Luth dan Nabi Nuh (Q.S. 66 At-Tahrim : 10). Ini merupakan pelajaran penting buat kita bahwa kehebatan atau kelemahan sosok figur dalam keluarga bukan jaminan bagi keluarga lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Semoga anak keturunan kita tidak hanya menjadi anak keturunan biologis kita, tetapi sekaligus anak keturunan spiritual kita. Semoga istri/suami kita bukan hanya istri/suami biologis kita, melainkan sekaligus istri/suami spiritual kita.Hari raya Idul Adha ini juga momentum yang baik untuk mempersiapkan generasi milenium ketiga, suatu generasi yang betul-betul terpilih (the chosen people) atau umat pilihan (khairu ummah) menurut istilah Al-Qur’an (Q.S. 4 Ali Imran : 110).
Al-Qur’an memberikan warning bagi kita agar tidak meninggalkan generasi lemah dan tidak punya daya saing :
 وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah… “ (Q.S.  An-Nisa : 9)Sebaliknya, Al-Qur’an memberikan dorongan untuk mempersiapkan generasi yang betul-betul professional, memiliki kemampuan kompetisi yang handal, generasi yang kuat dan terpercaya, sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur’an :
 إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِينُ
….sesungguhnya generasi yang paling baik yang kamu pilih untuk bekerja ialah generasi yang kuat lagi dapat dipercaya” (Q.S. 28 Al-Qashash : 26)
Generasi al-qawiyy al-amin menurut ulama Tafsir ialah generasi yang sehat jasmani dan rohani, serta memiliki berbagai kecerdasan, keterampilan, dan keunggulan, di samping kejujuran dan amanah. Dengan demikian, generasi untuk milenium ketiga ialah generasi al-qawiyy al-amin, yakni generasi tangguh dan terpercaya.Prasyarat untuk mencapai umat ideal (khairu Ummah) ialah terbentuknya pribadi-pribadi utuh dan keluarga-keluarga tangguh sebagai cikal bakal warga umat.
Sulit membayangkan umat yang ideal tanpa pribadi utuh dan keluarga yang sakinah. Itulah sebabnya Al-Qur’an dan hadis lebih  banyak berbicara tentang pembentukan pribadi dan keluarga, bukannya banyak berbicara tentang masyarakat dan negara.Keluarga sakinah sebagai cikal bakal umat dan warga bangsa yang ideal merupakan obsesi Al-Qur’an.
Keluarga sakinah hanya dapat diwujudkan melalui institusi perkawinan sah dan Allah SWT melarang keras perzinahan. Itulah sebabnya perkawinan dalam Islam, menurut Imam syafi’i, bukan sekedar kontrak sosial (‘aqd al tamlik), melainkan juga memiliki makna sakral (‘aqd al ‘ibadah). Institusi perkawinan menuntut berbagai syarat dan ketentuan agar rumah tangga yang terbentuk kelak melahirkan generasi-generasi pilihan. Keluarga dan rumah tangga yang normal dan utuh berpotensi melahirkan generasi yang tangguh, sebaliknya keluarga dan rumah tangga yang berantakan berpotensi melahirkan generasi yang lemah.
Wajarlah kiranya jika Rasulullah pernah mengingatkan bahwa, “Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah ialah perceraian” Perceraian adalah lambang kegagalan sebuah rumah tangga.  


KHUTBAH JUM’AT “LIMA PESAN RASULULLAH SAW.”
OLEH : MUH. MUNIR FAUZI, S.Pd

اَلْحَمْدُِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ  وَنَعُوْذُبِااللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا                      وِمِنْ سَيِّئَاتِ   أَعْمَالِنَا. مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
اَشْهَدُ اَنْ لآَاِلهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
   اَللّهُمَّ صَلِّى عَلىَ مُحَمَّد  وَعَلَى آلِهِ وَصَحـْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ
 إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ  وَلاَتَمُوْتُونَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ (3:102)
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا 4:1                                                                      

Ikhwatal Iman rahimakumullah... jamaah shalat jum’at yang berbahagia.
Selanjutnya, izinkanlah khatib mengingatkan kita semua termasuk diri khotib sendiri untuk senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.  Karena tidak ada bekal terbaik yang dapat menyelamatkan kita dalam kehidupan di dunia dan akhirat kelak kecuali taqwa.  
Tidak ada pula derajat kemuliaan yang pantas disematkan kepada seseorang kecuali derajat ketaqwaan... Inna akramakum indallahi atqakum... Dengan taqwa kepada Allah inilah kita berupaya menjalani kehidupan sehari-hari kita.
Ikhwatal Iman rahimakumullah... jamaah shalat jum’at yang berbahagia
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad diceritakan bahwa ketika hari keberangkatan Muadz bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman telah tiba, Muadz berpamitan kepada Rasulullah saw dan para sahabat lainnya. Rasa berat meninggalkan kampung halaman apalagi harus berpisah dengan Rasul membuatnya menangis. Rasul kemudian bertanya: “Mengapa engkau menangis?”. Muadz menjawab: “Wahai Rasulullah, aku menangis karena akan-berpisah-denganmu”.

Menghadapi kenyataan ini, maka Rasulullah saw berpesan kepada Muadz . Beliau bersabda:


لاَ تَجْزَعْ إِنَّ الْجَزَعَ مِنَ الشَّيْطَانِ يَامُعَاذُ إِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَاكُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ يَامُعَاذُ اذْكُرُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَ كُلِّ حَجَرٍ وَشَجَرٍ وَمَدَرٍ

"Janganlah bersedih, karena sesungguhnya bersedih itu datangnya dari syaitan. Wahai Muadz, bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya, dan berakhlaklah kepada orang lain dengan akhlak yang baik. Wahai Muadz, ingatlah selalu kepada Allah azza wa jalla, baik ketika berada di daerah bebatuan, daerah penuh pepohonan maupun daerah perkotaan."

Dari hadits di atas, dapat kita simpulkan bahwa untuk menjalani kehidupan dengan baik, Rasulullah saw berpesan lima halyang juga merupakan  pesan kepada ummatnya/kepada kita sekalian-dalam-kita-menjalani-hidup-ini.

Pertama, tidak Bersedih. Pada dasarnya kesedihan merupakan sesuatu yang wajar, karenanya hal ini ada pada setiap orang. Rasa sedih akan muncul ketika seseorang akan berpisah dengan orang yang dicintainya, apakah dengan sebab akan pergi lama atau kematian dan kehilangan apa yang dimiliki. Namun kesedihan bisa menjadi tidak wajar dan tidak bisa dibenarkan serta hal ini dianggap datangnya dari syaitan ketika dengan sebab sedih seseorang tidak mau pergi menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya atau ketika terjadi kematian orang yang dicintainya, ia tidak bisa menerima kenyataan itu atau bisa juga sedih karena kehilangan harta yang-membuatnya-menjadi-putus-asa.

Oleh karena itu, ketika Muadz bin Jabal nampak begitu sedih ketika akan berpisah dengan Rasul dan para sahabat serta harus meninggalkan kota Makkah yang dicintainya, beliau menyatakan bahwa kesedihan datangnya dari syaitan bila hal itu sampai menyebabkan semakin berat langkah Muadz untuk menunaikan tugas. Laa Tajza’ dalam hadits di atas bisa dipahami sebagai tidak sabar terhadap sesuatu yang menimpa yang membuat seseorang menjadi-sedih.

Kedua, Bertaqwa Dimana Saja. Taqwa adalah memelihara diri dari siksa Allah dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya dalam situasi dan kondisi apapun, bahkan dimanapun seseorang berada, ini merupakan kunci kemuliaan bagi manusia sehingga setiap mukmin harus berusaha untuk bertaqwa kepada Allah swt dengan sebenar-benarnya taqwa.  Allah swt  menurunkan Al-Qur’an yang tidak  diragukan sedikitpun kebenarannya agar menjadi petunjuk-untuk-mencapai-ketaqwaan.

Ketiga, Menghapus Keburukan Dengan Kebaikan. Sebagai manusia yang sering dikatakan sebagai makhluk yang tidak luput dari salah dan dosa, maka keburukan yang telah dilakukan tidak boleh menjadi kebiasaan apalagi sampai membentuk karakter kepribadian yang buruk. Oleh karena itu, setelah bertaubat dari kesalahan, setiap muslim harus menghapus dan  menutupi kesalahan itu dengan kebaikan sehingga perbuatan baik mendominasi perjalanan hidup kita, bahkan sekalipun orang tidak bisa melupakan keburukan yang pernah kita lakukan tetap saja mereka-bangga-dengan-kebaikan-yang-sekarang-kita-lakukan.

Keempat Berakhlak Baik. Manusia antar satu dengan lainnya harus bergaul dan berinteraksi, karena itu, Nabi berpesan kepada Muadz yang juga berarti kepada kita semua agar kita bergaul dan mempergauli manusia dengan akhlak yang baik, apalagi Allah swt mengutus Rasul untuk memperbaiki akhlak manusia. Dalam rangka mempergauli manusia dengan akhlak yang baik, telah diatur dan dicontohkan bagaimana suami harus berakhlak baik kepada isterinya, begitu juga dengan isteri kepada suaminya. Orang tua harus berakhlak baik kepada anak, begitu juga dengan anak kepada orang tuanya dan begitulah seterusnya harus berakhlak baik kepada sesama manusia seperti kepada tamu, tetangga dan sebagainya. Akhlak yang baik pada diri manusia merupakan cermin dari keimanannya yang sempurna, karenanya menjadi amat penting untuk menunjukkan akhlak manusia dihadapan sesama manusia karena hal ini menjadi tolok ukur keimanan.

Kelima Selalu Berdzikir. Secara harfiyah, dzikir artinya mengingat, menyebut. Orang yang berdzikir kepada Allah swt berarti orang yang ingat kepada Allah swt yang membuatnya tidak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan-Nya. Ini berarti dzikir itu bukan sekadar menyebut nama Allah, tapi juga menghadirkannya ke dalam jiwa sehingga kita selalu bersama-Nya yang membuat kita menjadi terikat kepada ketentuan-ketentuan-Nya. Bagi seorang muslim, berdzikir merupakan hal yang amat penting, karenanya satu-satunya perintah Allah swt yang menggunakan kata katsira (banyak) adalah perintah dzikir kepada-Nya-sebagaimana-firman-Allah-swt:

يَآ يُّـهَـا الَّذِين اَمَنُوا اذُكُـرُ اللهَ ذِكرًا كَثِيرُا

"Hai orang yang beriman, berdzikirlah kamu kepada Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya"(QS-Al-Ahzab-[33]:41).

Untuk menggambarkan betapa penting dzikir bagi seorang muslim, Rasulullah saw sampai mengumpamakannya antara orang yang hidup dengan orang yang mati, ini berarti dzikir itu akan-menghidupkan-jiwa-seorang-muslim,

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْم
بَارَكَ اللهُ فِى القُرآنِ العَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَايَّاكُم بِمَا فِيهِ مِنَ الآيَاتِ والذِّكرِ الحَكِيم, اِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ العَلِيم فَاستَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لِيْ وَلَكُمْ اِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيْم

 
اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ الْحَقِّ الْمُبِيْنِ، الَّذِي حَبَانَا بِالْإِيْمَانِ واليقينِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد،ٍ خاتم الأنبياء والمرسلين،. أَمَّا بَعْدُ.
إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ  وَلاَتَمُوْتُونَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ


 
MELESTARIKAN NILAI-NILAI HIJRAH






Ma’asyiral muslimin jamah jum’at yang berbahagia ...!
Selanjutnya, izinkanlah khatib mengingatkan kita semua termasuk diri khotib sendiri untuk senantiasa meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.  Karena tidak ada bekal terbaik yang dapat menyelamatkan kita dalam kehidupan di dunia dan akhirat kelak kecuali taqwa.  
Saat ini kita memasuki Tahun Baru Hijriyah ke 1435, dengan datangnya tahun baru Islam ini, teringatlah kita dengan peristiwa hijrah Rasulullah SAW bersama para sahabat dari kota Makkah ke Yatsrib. Peristiwa hijrah ini mengandung banyak nilai yang perlu kita kenang dan kita kembangkan dalam rangka pembinaan diri dan pembangunan umat sekarang dan yang akan datang. Bilamana kita telusuri kejadian demi kejadian serta suasana ketika berlangsungnya hijrah, kita bersua dengan nilai-nilai indah dan mengagumkan.
Nilai-nilai yang perlu dijadikan mau’izhah yang sangat berharga, ialah antara lain : 
1.    Bahwa hijrah itu berlangsung atas izin Allah :
Allah SWT berfirman :وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
artinya “Dan ingatlah ketika orang-orang kafir Quraisy memikirkan daya upaya terhadapmu untuk  menangkap dan memenjarakanmu/membunuhmu/mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (QS. 8 Al-Anfal 30) 
Menurut Ibnu Abi Hatim berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas bahwa ayat 30 surat Anfal tersebut  berkenaan dengan hasil rapat Pleno seluruh suku Quraisy yang bersepakat untuk membunuh Nabi Muhammad. Maka datanglah Jibril kepada Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk tidak tidur di tempat tidurnya yang biasa, dan memberitahukan tentang rencana perbuatan makar kaum kafir Quraisy. Maka Rasulullah SAW pada malam itu tidak tidur di rumahnya, dan Allah memerintahkan/memberi izin untuk meninggalkan kota Makkah ke Yatsrib. 
2.    Peranan Generasi Muda Islam.
Peran Ali bin Abi Thalib dalam skenario Hijrah sesuai perintah dan izin Allah itu besar sekali peranannya. Ali yang masih muda beliau memiliki keberanian luar biasa, ikhlas, berani mati, meng­gantikan Nabi Muhammad SAW tidur di rumah yang dikepung kafir Quarisy yang sudah merencanakan pembunuhan terhadap pengikut Nabi, dan beliau selamat.

3.    Membangun Masjid Yang Pertama Dalam Islam.
Bangunan yang pertama-tama didirikan Rasulullah ketika tiba di Quba + 17 km dari Madinah ialah sebuah masjid yang sampai dengan sekarang diziarahi oleh setiap jama’ah haji dan umroh dari berbagai pelosok dunia, 4 hari setelah itu Rasulullah dan rombongan meneruskan perjalanan ke Yastrib (Madinah sekarang) dan mendirikan pula Masjid Nabawi yang sangat terkenal di Madinah.

4.    Ukhuwah Islamiyah
Nilai keempat yang patut kita renungkan dari peristiwa hijrah itu ialah dipersaudarakannya kaum Muhajirin yang hijrah dengan membawa penderitaan, kemiskinan dan kesusahan dengan kaum Anshor yang dengan segala keichlasannya membantu saudara-saudaranya (Muhajirin). Dari kedua potensi Muhajirin dan Anshor inilah masyarakat Islam berkembang ke pelbagai pelosok dunia yang bertolak belakang sekali dengan kenyataan kaum Muslimin beberapa abad kemudian.

5.    Pembangunan Masyarakat Islam
Nilai ke-5 yang kita peroleh dari peristiwa hijrah ialah pembangunan rohani, mental dan iman yang kokoh menghadapi berbagai penderitaan selama 13 tahun di Mekkah, dilanjutkan dengan babak baru di Madinah.
Ma’asyiral muslimin jamah jum’at yang berbahagia ...!
Itulah sebagian kejadian yang berlangsung disekitar peristiwa hijrah Rasulullah SAW yang menjadi historis perjuangan Nabi dan para sahabat, serta menjadi teladan umatnya di kemudian hari sampai dengan kini. Tapi apakah saat-saat seperti pergantian tahun Hijriyah ini hanya cukup diperingati dengan mengagung-agungkan kesuksesan/kegemilangannya pada zaman Nabi itu. Walaupun terasa tahun demi tahun, demi syi’ar Islam, masyarakat tambah meriah menyambut tahun hijriyah ini bahkan mereka peringati dengan spanduk-spanduk, ucapan-ucapan, berpesta riya hingga meniru-niru perayaan pergantian tahun baru pada agama lain. Tentunya, bukan itu maksud kita memperingati pergantian tahun Hijriyah itu.
Perintah hijrah kepada Nabi SAW merupakan titik pemisah antara masa Mekkah dan masa Madinah, dan sebagai awal perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam. Sebab 13 tahun di Mekkah baru sedikit sekali jumlah yang mengikuti agama Islam, barulah berkembang di Madinah. Oleh karena itu titik pemisah antara Mekkah dan Madinah bisa diartikan pula sebagai titik pemisah antara yang Bathil dan yang Haqq, antara syirik dan tauhid, antara umat jahiliyah dan umat berhidayah. Di sinilah makna mendalami kalender Hijriyah itu.
Dalam Hijriyah itu sendiri tidak bisa dipungkiri adanya 2 hal : Hijriyah lahiriyah dan hijriyah batiniah/rohaniah. Kalau lahiriyah artinya hijrah secara fisik yang menurut Nabi sudah tidak ada lagi. Yang diperlu sekali pada saat-saat seperti sekarang ini demi menyelamatkan diri pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa adalah hijrah batiniah. Katakanlah kita sudah mengadakan reformasi, tapi sayangnya reformasi seolah hanya berhenti di situ saja, mengapa ? Karena reformasi yang kita usung tidak disertai semangat hijrah secara batiniah yakni semangat untuk menanggalkan hal-hal buruk kearah yang lebih baik.
Ma’asyiral muslimin jamah jum’at yang berbahagia ...!
Demikianlah khutbah singkat ini kami sampaikan dan marilah kita berdoa kepada Allah SWT...semoga amal ibadah kita pada tahun yang lalu diterima sisi Allah SWT...dan mudah-mudahan pada tahun baru ini kita dijadikan sebagai hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Amin3x...
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِالْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِوَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَالْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُإِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


MENYAMBUT TAHUN BARU 2014
Oleh : Muh. Munir Fauzi, S.Pd

الحمدلله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق وانعمنابنعمة الايمان والاسلام. اشهدان لااله الاالله لانعبده الااياه واشهدان محمداعبده ورسوله الذى لانبى بعده. اللهم صل وسلم على سيدنامحمدوعلى اله واصحابه ومن والاه امابعده. فياايهاالحاضرون رحمكم الله, اوصيكم ونفسى بتقوى الله فقدفازالمتقون. قال الله تعالى فى القران الكريم ياايهاالذين امنوااتقواالله حق تقاته ولاتموتن الاوانتم مسلمون.

Hadirin sidang Jumat yang berbahagia.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam kita sajungkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan ummatnya yang setia.
Pada kesempatan yang mulia ini, marilah kita meningkatkan kualitas diri kita sehingga mampu menggapai makna takwa yang sesungguhnya, takwa yang berdasar pada lubuk hati kita, takwa yang membuat kita sadar bahwa segala yang kita lakukan hanya akan berarti jika diorientasikan untuk mengabdi kepada Allah, dan takwa yang membuat kita tidak mempunyai tujuan lain dalam kehidupan ini kecuali mencari ridha-Nya.

Sidang Jum’ah yang berbahagia.
Sebentar lagi bulan Januari akan datang kepada kita. Yaitu bulan dimana permulaan tahun baru Miladiyah akan dimulai. Artinya kita akan sampai kepada tahun baru lagi, yaitu tahun 2014 yang harus dihadapi dengan hati-hati seraya berpedoman dengan pengalaman-pengalaman pada tahun lampau. Segala amal perbuatan tahun lalu yang tidak patut hendaknya dijauhi dan dihindari. Selanjutnya bersiap-siap memulai babak baru yang harus bisa diwarnai dengan perilaku yang baik serta terpuji dan menguntungkan. Itulah langkah kita di dalam setiap memasuki tahun baru. Mengadakan intropeksi diri pada diri kita sendiri serta mengevaluasi semua perbuatan tahun lampau untuk diperbaiki pada tahun berikutnya. Sehingga dengan demikian semakin tua umur kita semakin baik dan sempurna amal kita. Begitulah tujuan hidup dari tahun ke tahun, diberi umur panjang dengan disertai amal yang baik.
Di dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Shafwan dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah saw telah bersabda  yang artinya : Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan bagus amalnya. (HR.Tirmidzi).

Sidang Jum’ah yang berbahagia!
Tetapi sebahagian besar orang yang menyambut datangnya tahun baru malah digunakan sebagai kesempatan untuk maksiat sepuas-puasnya. Di hotel-hotel, gedung-gedung pertemuan atau ditempat-tempat ramai lainnya diselenggarakan bermacam-macam acara yang berbau dengan kemaksiatan. Dansa-dansa, mabuk-mabukkan, berjoget semalam suntuk adalah hal yang biasa dilakukan setiap menyambut tahun baru masehi. Semua itu adalah keliru, bahkan sangat-sangatlah keliru dan sesat. Karena kebiasaan-kebiasaan seperti diterangkan di atas adalah perilaku orang-orang Nasrani, orang-orang Kristen, orang-orang yang kafir, orang-orang yang hanya haus kemewahan dunia tanpa mengingat kehidupan di akhirat. Mereka telah berbuat dosa sementara mereka telah diberi kenikmatan berupa tambahnya umur sehingga bisa mengenyam kehidupan di tahun baru. Semestinya mereka bersyukur, bukannya berbuat seperti orang kufur.
Allah telah berfirman :



Artinya :
Dan tinggalkan dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang melakukan dosa, kelak akan diberi pembalsan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan. (Al An’am:120)

Sidang Jum’ah yang berbahagia!
Lalu bagaimanakah tindakan kita memasuki tahun baru nanti? Sebagai orang muslim yang bukan hanya mementingkan kehidupan dunia saja, tapi juga kehidupan akhirat, maka tindakan kita di dalam memasuki tahun baru ialah :
1.      Bercermin pada kehidupan yang baru saja kita lalui di tahun sebelumnya. Jika ternyata pada tahun sebelum ini kita banyak berbuat kesalahan maka tahun mendatang kita harus mengubah sikap untuk berbuat kebajikan-kebajikan sebanyak-banyaknya.
2.      Bilamana dalam masalah keduniaan pada sebelumnya kita mengalami kemunduran, maka carilah sebab kemunduran itu. Lalu cari cara baru yang sekiranya dapat mendatangkan kemajuan. Janganlah kemunduran pada tahun sebelumnya membuat putus asa. Sebab putus asa di dalam mengharap rahmat Allah dan pertolongan Allah dilarang dalam Islam.
3.  Memperbanyak rasa syukur kepada Allah bilamana di dalam tahun yang baru dilalui itu memperoleh banyak kemajuan, baik dalam masalah duniawi maupun ukhrawi. Janganlah apa yang dicapainya selama ini lalu membuat lupa daratan, sehingga dalam tahun berikutnya lalu berlaku sombong, atau membangga-banggakan apa yang telah dicapainya selama ini. Ingat Qarun yang telah dilaknat Allah karena berlaku sombong berkat keberhasilannya didalam perniagaannya yang membawa dirinya semakin kaya. Padahal sebenarnya apa yang telah dicapainya itu semata adalah anugerah Allah.

Sidang Jum’ah yang berbahagia.
Dari semua uraian diatas, maka tahulah kita bagaimana seharusnya tindakan setiap muslim didalam memasuki tahun baru. Kita tidak perlu meniru orang kafir yang berfoya-foya didalam menyambut datangnya tahun baru. Datangnya tahun baru bagi kita akan mengisi lembaran-lembaran hidup baru yang telah dibentangkan oleh Allah dihadapan kita. Maka kita harus berhati-hati, jangan sampai lembaran-lembaran itu lalu kita nodai dengan amal perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan selera manusia yang berbudaya serta berkendak luhur.
Oleh sebab itu mulai sekarang kita harus merubah sikap didalam menyongsong datangnya tahun baru. Kita ingatkan mereka yang biasa menyongsong tahun baru dengan berpesta, berfoya-foya semalam suntuk. Semua itu adalah tindakan yang keliru. Sebaliknya di saat-saat permulaan memasuki tahun baru kita warnai dengan amal shaleh, meningkatkan ketaqwaan kepada Allah dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan demikian, maka Allah pasti melindunginya di dalam kehidupannya sehari-hari sehingga kehidupannya mengandung berkah.
Akhirnya marilah kita panjatkan do’a kepada Allah semoga amal perbuatan kita yang telah lalu berupa kebajikan diterima oleh-Nya sebagai amal shaleh yang dapat kita petik kelak di akherat, dan semua kesalahan atau dosa yang telah kita perbuat selama itu diampuni-Nya. Begitu pula semoga langkah kita selanjutnya di dalam memasuki tahun baru tahun 2014 mendapat petunjuk dan taufik-Nya. Amin ya Rabbal Alamin.
بارك الله لى ولكم فى القران الكريم ونفعنى واياكم بمافيه من الايات والذكر الحكيم اقول قولى هذاوأستغفرالله العظيم لى ولكم ولسائرالمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات فاستغفروه انه هوالسميع
 

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛
v   Tujuan hidup seorang Muslim.
Jarang orang merumuskan tujuan hidupnya. Merumuskan apa yang dicari dalam hidupnya, apakah hidup­nya untuk makan atau makan untuk hidup. Banyak orang sekedar menjalani hidupnya, mengikuti arus ke­hidup­an, terkadang berani melawan arus, dan menyesuaikan diri, tetapi apa yang dicari dalam melawan arus, menyesuaikan diri dengan arus atau dalam pasrah total kepada arus, tidak pernah dirumuskan se­ca­ra serius. Ada orang yang sepanjang hidupnya bekerja keras mengumpulkan uang, tetapi untuk apa uang itu baru dipikirkan setelah uang terkumpul, bukan dirumuskan ketika memutuskan untuk mengumpulkannya.
Ada yang ketika mengeluarkan uang tidak sempat merumuskan tujuannya, sehingga harta­nya terhambur-ham­bur tanpa arti. Ini adalah model orang yang hidup tidak punya konsep hidup. Sesungguhnya secara fithri, terutama ketika melakukan sesuatu untuk kebutuhan dasarnya selalu ingat tuju­an. Ketika seseorang ingin menjadi insinyur dia masuk Fakultas Tehnik, bila ingin menjadi Dokter maka ia ma­suk Fakultas kedokteran, bila ingin jadi ahli ekonomi maka masuk Fakultas Ekonomi, dan bila ingin menjadi pe­mim­pin maka ia harus mengadakan manuver politik mencari legitimasi dari kaum muslimin atau masyarakat.
Rumusan tujuan hidup yang didasari oleh ajaran agama menempati posisi sentral, yakni orang yang hormat dan tunduk kepada nilai-nilai agama yang diyakininya, melalui figure Ulama Kharismatik, atau menurut kitab suci. Menurut ajaran Islam, tujuan hidup manusia ialah untuk menggapai ridha Allah, ibtigha mardhatillah. Firman Allah  
: وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِـغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ وَاللهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ ,
arti­nya : “Dan di an­tara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Pe­nyan­tun kepada hamba-hamba-Nya” (QS. 2 Al Baqarah : 207).
Ridha artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan hidup seorang Muslim, terpulang kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridhai Allah SWT atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridha-Nya, maka apapun yang diberikan Allah kepada kita, kita akan mene­ri­ma­­­nya dengan ridha (senang) pula, ridha dan diridhai (radhiyatan mardhiyah). 
Indikator ridha Allah juga dapat dilihat dari dimensi horizontal, Nabi bersabda : “Bahwa ridha Allah ada bersama ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua”. Semangat untuk mencari ridha Allah sudah barang tentu hanya dimiliki orang-orang yang beriman, sedang­kan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya dan prilakunya sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang yang minus beragama, karena toh setiap manusia memiliki akal yang bisa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan. 
v   Tugas Hidup Seorang Muslim
Rumusan tugas hidup seorang muslim bisa dibuat berdasarkan citarasa sebagai manusia yang hidup di tengah realita objektip, oleh karena itu rumusan tugas hidup dapat berbeda-beda. 
Ibadah mengandung arti untuk menyadari dirinya kecil tak berarti, meyakini kekuasaan Allah Yang Maha Besar, Sang Pencipta, dan disiplin dalam kepatuhan kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang menjalankan ibadah mestilah rendah hati, tidak sombong, dan disiplin. Itulah etos ibadah.
Ibadah juga terbagi menjadi dua klasifikasi; ibadah khusus dan ibadah umum. Ibadah khusus adalah ritual yang bersifat baku yang ketentuannya langsung dari wahyu atau dari Nabi Muhammad SAW, sedangkan ibadah umum adalah semua perbuatan yang baik, dikerjakan dengan niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula. 
Dan ibadah ghairu mahdhah, seperti berbisnis, karena inti dari berbisnis adalah membantu mendekatkan orang lain dari kebutuhannya. Menuntut ilmu adalah ibadah yang sangat besar nilainya asal dilakukan dengan niat baik dan cara yang baik pula. Bahkan menunaikan syahwat seksual yang dilakukan dengan halal (suami isteri) dan dilakukan dengan cara baik (ma’ruf) adalah ibadah. Dengan demikian kita dapat melakukan tugas ibadah dalam semua aspek kehidupan kita, sesuai dengan bakat, minat, dan profesi kita. Perbedaan pandangan hidup akan menghasilkan perbedaan nilai dan persepsi.

Orang yang tidak mengenal ibadah, mungkin sangat sibuk dan lelah mengerjakan tugas sehari-hari, tetapi nilainya nol secara vertikal, sementara orang yang mengenal ibadah, mungkin sama kesibukannya, tetapi cara pandangannya berbeda dan berbeda pula dalam mensikapi kesibukan, maka secara psikologis/kejiwaan ia tidak merasa lelah karena merasa sedang beribadah. 
v   Peran dalam pentas kehidupan
Dalam hal ini manusia memiliki dua peran utama; pertama sebagai hamba Allah, dan peran kedua seba­gai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia adalah kecil dan tidak memiliki kekuasaan, oleh karena itu tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya. Namun, sebagai khalifah, manusia diberi fungsi, peran yang sangat besar, karena Allah Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka bumi memiliki tanggungjawab dan otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia diberi tugas untuk mengelola alam semesta ini untuk kesejahteraan manusia. 
Dari ketiga dimensi tersebut; Tujuan Hidup seorang muslim, tugas hidup, dan peranannya dalam kancah kehidupan dunia, dapat kita sarikan dalam sifat-sifat moral yang harus dimiliki seorang muslim adalah: Beramal shaleh, menghindari dosa, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat munkar (amar ma’ruf nahi munkar), jujur dan mencela kebohongan, bersikap sederhana dan menjauhi pemborosan. Dalam segala hal, adil, lemah lembut dalam berbicara, menghindari perkataan yang buruk dan fitnah, sedia memaafkan, menghindari keangkuhan dan kesombongan, sabar, mengendalikan diri dan waspada, tidak kejam, sedia bertindak sebagai penengah dan pembuat perdamaian, berpegang teguh kepada keimanan, setia, dermawan, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada seluruh tetangga dan kerabat, sederhana, melaksanakan sumpah, menghindari sumpah palsu, dan sifat paling mulia adalah taqwa
 إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَاللهِ أَتْقَاكُمْ  “Orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (QS. 49 Hujurat : 13) 
Demikianlah khutbah singkat ini kami sampaikan dan marilah kita berdoa kepada Allah SWT... mudah-mudahan kita dijadikan sebagai hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT semoga amal ibadah kita diterima sisi Allah SWT dan. Amin3x...


أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْم
بَارَكَ اللهُ فِى القُرآنِ العَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَايَّاكُم بِمَا فِيهِ مِنَ الآيَاتِ والذِّكرِ الحَكِيم, اِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ العَلِيم فَاستَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لِيْ وَلَكُمْ اِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيْم



Tidak ada komentar:

Posting Komentar